KETAHANAN
ENERGI DAN KEBIJAKAN BBM
Ketahanan energi, khususnya BBM
merupakan salah satu faktor krusial dalam ketahanan nasional sehingga wajar
jika Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) memberikan sinyal kepada
pemerintah bahwa stok BBM Indonesia yang
rata-rata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri selama 20 hari saja
rawan ketahanan energi. Angka tersebut
jauh di bawah stok minyak Singapura yang mencapai 120 hari dan Jepang 107 hari.
Padahal kita tahu kedua negara maju itu tidak memiliki deposit minyak bumi.
Rendahnya stok BBM ini jika tidak diantisipasi dan dicarikan solusinya dapat
menimbulkan pelemahan ketahanan energi dan ketahanan nasional.
Ketahanan Energi
Daniel Yergin mendefinisikan
ketahanan energi menurut kedudukan dan kepentingan suatu negara, yaitu
ketahanan energi negara pengekspor dan pengimpor energi. Untuk Negara
pengekspor energi, ketahanan energi dapat diartikan sebagai bagaimana cara
mengamankan pasokan energi mereka untuk menjamin pendapatan finansial sehingga
keberlangsungan negara dapat terjamin. Untuk negara pengimpor, Daniel
Yergin mengklasifikasikan negara
pengimpor menjadi negara maju dan berkembang. Untuk negara maju ketahanan
energi dapat terjamin melalui diversifikasi energi, trading dan investasi di
wilayah penghasil energi. Sementara untuk negara berkembang ketahanan energi
didefinisikan sebagai bagaimana cara mencari penyelesaian untuk menyikapi
perubahan energi yang dapat berdampak pada perekonomian Negara.
Kebijakan BBM
Kebijakan energi (dalam hal ini
BBM) yang tidak tepat, baik untuk negara pengimpor maupun pengeskpor dapat
menimbukan ancaman serius terhadap ketahanan energi negara tersebut. Kebijakan
BBM dapat bersifat jangka pendek atau jangka panjang. Kebijakan jangka pendek
biasanya muncul dari pemikiran pragmatis dan sporadik menghadapi ancaman non
fisik maupun ancaman fisik terhadap ketahanan energi atau alasan-alasan lain,
termasuk agenda tersembunyi partai penguasa. Kebijakan BBM jangka pendek yang
dilontarkan pemerintah dalam bentuk 3 opsi baru-baru ini ternyata dalam
beberapa hal kontradiktif dan kalau dicermati Indonesia sebenarnya juga belum
berada pada tingkat krisis BBM yang akut. Ketika pemerintah mengajukan
kebijakan jangka pendek dalam bentuk opsi pertama beberapa bulan yang lalu
yaitu pencabutan subsidi BBM, alasan-alasan klasik yang diajukan oleh
pemerintah antara lain :
pengalihan pemakaian premium ke pertamax
mendukung program langit biru karena pertamax lebih ramah lingkungan daripada
premium (pengurangan emisi dan efek rumah kaca), peningkatan diversifikasi
energi dan pengurangan penggunaan BBM melalui konversi BBM ke Gas (CNG dan LGV)
dan meningkatkan ketahanan energi. Namun ketika opsi kedua diajukan alasan
utama pemerintah adalah untuk menyehatkan postur RAPBN 2012. RAPBN kita disusun
atas dasar harga minyak mentah (crude oil) dan dalam RAPBN 2012 patokan ICP (Indonesia Crude Price) yang
dipakai adalah US$ 90/barel sementara realisasinya adalah US$115,91/barel pada
bulan januari 2012 dan sekarang sudah mencapai US$121.75/barel. Peningkatan ini
memerlukan alokasi tambahan anggaran sebesar Rp.60,4 triliun dan tambahan ini
hanya dapat diperoleh dengan menaikkan harga BBM, alasan lain adalah
pertumbuhan kendaran bermotor (mobil dan sepeda motor). Hasil kalkulasi
pemerintah penjualan mobil di Indonesia meningkat tajam pada tahun 2011. Pada
tahun itu telah terjual 800 ribu unit motor dan 900 ribu unit mobil baru yang
mengakibatkan konsumsi BBM bersubsidi membengkak mencapai angka 41,8 juta KL
pada tahun 2011, sementara kuotanya hanya 40 juta KL. Yang perlu digaris bawahi
dalam hal opsi kedua ini pemerintah sama sekali tidak menyinggung soal program
langit biru dan diversifikasi energi sebagai alasan menaikkan harga BBM. Hal
lain yang perlu dicatat adalah bahwa menurut studi yang dilakukan oleh Universitas
Indonesia bahwa, dari aspek sosial ekonomi dan fiskal, kenaikan harga bensin
dan solar sebesar Rp 1.500 per liter dapat
meningkatkan inflasi 2,15 persen, naiknya angka kemiskinan 0,98 persen,
penurunan kemampuan atau daya beli masyarakat sebesar 2,10 persen, dan hanya
menghasilkan penghematan subsidi BBM nasional Rp 31,58 triliun. Sedangkan
dengan opsi ketiga yaitu pemberian
subsidi tetap Rp 2.000 per liter dapat menambah inflasi 2,43 persen,
meningkatnya kemiskinan sebesar 1,15 persen, berkurangnya daya beli masyarakat
sebanyak 2,37 persen, dan penghematan pengeluaran dari subsidi BBM sekitar Rp
25,77 triliun. Dari pengalaman tahun 2005 dan 2008, opsi kedua ini, yaitu
penaikan harga BBM nampaknya lebih bersifat untuk menyelamatkan APBN dari defisit
ketimbang alasan-alasan lain meskipun rakyat yang menjadi tumbal untuk membayar
defisit tersebut.
Disamping kebijakan jangka pendek
yang banyak bersifat politis dengan usulan kompensasinya, pemerintah juga
meluncurkan kebijakan BBM jangka panjang yang terintegrasi dalam Kebijakan
Energi Nasional. Kebijakan jangka panjang ini mencakup konservasi BBM, konversi
BBM ke gas (CNG dan LGV), penguatan sektor energi baru dan terbarukan (EBT) dan
sebagainya. Dari Arah Kebijakan Energi
Nasional tersebut terlihat juga bahwa mulai tahun 2010 sampai tahun 2025 peran
BBM sebagai sumber energi utama di Indonesia digeser secara perlahan-lahan oleh
batu bara dan gas bumi. Porsi EBT juga semakin ditingkatkan dan mencapai
sekitar 25 % dari bauran energi nasional.
Dari dua macam kebijakan energi
yang direkomendasikan pemerintah, keduanya
berpotensi memperkuat atau memperlemah ketahanan energi. Pelemahan
ketahanan energi biasanya muncul karena berbagai bentuk ancaman seperti ancaman
non fisik dan fisik.
Ancaman non-fisik seperti harga minyak
mentah yang berfluktuatif diluar perkiraan, pemborosan atau inefisensi energi
(BBM), management BBM yang kacau (mismanagement) dan perdagangan gelap (black
market) BBM. Karena posisi kita sebagai net importer maka kita tidak dapat lagi
ikut menentukan harga minyak sehingga
negara kita dapat menjadi korban fluktuatifnya harga minyak. Managemen BBM yang
buruk termasuk distribusinya berpotensi memicu tumbuhnya perdangan gelap,
penimbunan dan sebagainya yang mengganggu ketahanan energi. Untuk Indonesia
produk pertamax dari Pertamina akan bersaing ketat dengan pertamax yang
dikelola oleh SPBU-SPBU asing, kecurangan-kecurangan di SPBU seperti pemilik
kendaran pribadi menyuap petugas SPBU untuk bisa memperoleh premium,
menjamurnya black market atau pedagang-pedagang premium eceran di jalanan yang
mengakibatkan pemilik kendaraan pribadi membeli premium di black market atau
pedagang eceran.
Ancaman fisik
seperti sabotase terhadap infra struktur
BBM dan sumber-sumber energi lain non BBM, jumlah kendaraan bermotor
(alat transportasi) yang meningkat tajam, tidak ditemukan lagi sumur-sumur
minyak baru, jumlah kilang-kilang BBM yang semakin menua dan produksinya tidak
mencukupi kebutuhan BBM yang terus meningkat, stok bahan BBM yang terbatas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar