Selasa, 26 Mei 2015

KETAHANAN ENERGI DAN KEBIJAKAN BBM



KETAHANAN ENERGI DAN KEBIJAKAN BBM
Ketahanan energi, khususnya BBM merupakan salah satu faktor krusial dalam ketahanan nasional sehingga wajar jika Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) memberikan sinyal kepada pemerintah  bahwa stok BBM Indonesia yang rata-rata hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri selama 20 hari saja rawan ketahanan energi.  Angka tersebut jauh di bawah stok minyak Singapura yang mencapai 120 hari dan Jepang 107 hari. Padahal kita tahu kedua negara maju itu tidak memiliki deposit minyak bumi. Rendahnya stok BBM ini jika tidak diantisipasi dan dicarikan solusinya dapat menimbulkan pelemahan ketahanan energi dan ketahanan nasional.
Ketahanan Energi
Daniel Yergin mendefinisikan ketahanan energi menurut kedudukan dan kepentingan suatu negara, yaitu ketahanan energi negara pengekspor dan pengimpor energi. Untuk Negara pengekspor energi, ketahanan energi dapat diartikan sebagai bagaimana cara mengamankan pasokan energi mereka untuk menjamin pendapatan finansial sehingga keberlangsungan negara dapat terjamin. Untuk negara pengimpor, Daniel Yergin  mengklasifikasikan negara pengimpor menjadi negara maju dan berkembang. Untuk negara maju ketahanan energi dapat terjamin melalui diversifikasi energi, trading dan investasi di wilayah penghasil energi. Sementara untuk negara berkembang ketahanan energi didefinisikan sebagai bagaimana cara mencari penyelesaian untuk menyikapi perubahan energi yang dapat berdampak pada perekonomian Negara.
Kebijakan BBM
Kebijakan energi (dalam hal ini BBM) yang tidak tepat, baik untuk negara pengimpor maupun pengeskpor dapat menimbukan ancaman serius terhadap ketahanan energi negara tersebut. Kebijakan BBM dapat bersifat jangka pendek atau jangka panjang. Kebijakan jangka pendek biasanya muncul dari pemikiran pragmatis dan sporadik menghadapi ancaman non fisik maupun ancaman fisik terhadap ketahanan energi atau alasan-alasan lain, termasuk agenda tersembunyi partai penguasa. Kebijakan BBM jangka pendek yang dilontarkan pemerintah dalam bentuk 3 opsi baru-baru ini ternyata dalam beberapa hal kontradiktif dan kalau dicermati Indonesia sebenarnya juga belum berada pada tingkat krisis BBM yang akut. Ketika pemerintah mengajukan kebijakan jangka pendek dalam bentuk opsi pertama beberapa bulan yang lalu yaitu pencabutan subsidi BBM, alasan-alasan klasik yang diajukan oleh pemerintah antara lain :
 pengalihan pemakaian premium ke pertamax mendukung program langit biru karena pertamax lebih ramah lingkungan daripada premium (pengurangan emisi dan efek rumah kaca), peningkatan diversifikasi energi dan pengurangan penggunaan BBM melalui konversi BBM ke Gas (CNG dan LGV) dan meningkatkan ketahanan energi. Namun ketika opsi kedua diajukan alasan utama pemerintah adalah untuk menyehatkan postur RAPBN 2012. RAPBN kita disusun atas dasar harga minyak mentah (crude oil) dan dalam RAPBN 2012  patokan ICP (Indonesia Crude Price) yang dipakai adalah US$ 90/barel sementara realisasinya adalah US$115,91/barel pada bulan januari 2012 dan sekarang sudah mencapai US$121.75/barel. Peningkatan ini memerlukan alokasi tambahan anggaran sebesar Rp.60,4 triliun dan tambahan ini hanya dapat diperoleh dengan menaikkan harga BBM, alasan lain adalah pertumbuhan kendaran bermotor (mobil dan sepeda motor). Hasil kalkulasi pemerintah penjualan mobil di Indonesia meningkat tajam pada tahun 2011. Pada tahun itu telah terjual 800 ribu unit motor dan 900 ribu unit mobil baru yang mengakibatkan konsumsi BBM bersubsidi membengkak mencapai angka 41,8 juta KL pada tahun 2011, sementara kuotanya hanya 40 juta KL. Yang perlu digaris bawahi dalam hal opsi kedua ini pemerintah sama sekali tidak menyinggung soal program langit biru dan diversifikasi energi sebagai alasan menaikkan harga BBM. Hal lain yang perlu dicatat adalah bahwa menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia bahwa, dari aspek sosial ekonomi dan fiskal, kenaikan harga bensin dan solar sebesar Rp 1.500 per liter dapat  meningkatkan inflasi 2,15 persen, naiknya angka kemiskinan 0,98 persen, penurunan kemampuan atau daya beli masyarakat sebesar 2,10 persen, dan hanya menghasilkan penghematan subsidi BBM nasional Rp 31,58 triliun. Sedangkan dengan opsi ketiga yaitu pemberian  subsidi tetap Rp 2.000 per liter dapat menambah inflasi 2,43 persen, meningkatnya kemiskinan sebesar 1,15 persen, berkurangnya daya beli masyarakat sebanyak 2,37 persen, dan penghematan pengeluaran dari subsidi BBM sekitar Rp 25,77 triliun. Dari pengalaman tahun 2005 dan 2008, opsi kedua ini, yaitu penaikan harga BBM nampaknya lebih bersifat untuk menyelamatkan APBN dari defisit ketimbang alasan-alasan lain meskipun rakyat yang menjadi tumbal untuk membayar defisit tersebut.
Disamping kebijakan jangka pendek yang banyak bersifat politis dengan usulan kompensasinya, pemerintah juga meluncurkan kebijakan BBM jangka panjang yang terintegrasi dalam Kebijakan Energi Nasional. Kebijakan jangka panjang ini mencakup konservasi BBM, konversi BBM ke gas (CNG dan LGV), penguatan sektor energi baru dan terbarukan (EBT) dan sebagainya. Dari  Arah Kebijakan Energi Nasional tersebut terlihat juga bahwa mulai tahun 2010 sampai tahun 2025 peran BBM sebagai sumber energi utama di Indonesia digeser secara perlahan-lahan oleh batu bara dan gas bumi. Porsi EBT juga semakin ditingkatkan dan mencapai sekitar 25 % dari bauran energi nasional.
Dari dua macam kebijakan energi yang direkomendasikan pemerintah, keduanya  berpotensi memperkuat atau memperlemah ketahanan energi. Pelemahan ketahanan energi biasanya muncul karena berbagai bentuk ancaman seperti ancaman non fisik dan fisik.
    Ancaman non-fisik seperti harga minyak mentah yang berfluktuatif diluar perkiraan, pemborosan atau inefisensi energi (BBM), management BBM yang kacau (mismanagement) dan perdagangan gelap (black market) BBM. Karena posisi kita sebagai net importer maka kita tidak dapat lagi ikut menentukan harga minyak  sehingga negara kita dapat menjadi korban fluktuatifnya harga minyak. Managemen BBM yang buruk termasuk distribusinya berpotensi memicu tumbuhnya perdangan gelap, penimbunan dan sebagainya yang mengganggu ketahanan energi. Untuk Indonesia produk pertamax dari Pertamina akan bersaing ketat dengan pertamax yang dikelola oleh SPBU-SPBU asing, kecurangan-kecurangan di SPBU seperti pemilik kendaran pribadi menyuap petugas SPBU untuk bisa memperoleh premium, menjamurnya black market atau pedagang-pedagang premium eceran di jalanan yang mengakibatkan pemilik kendaraan pribadi membeli premium di black market atau pedagang eceran.
    Ancaman fisik seperti sabotase terhadap infra struktur  BBM dan sumber-sumber energi lain non BBM, jumlah kendaraan bermotor (alat transportasi) yang meningkat tajam, tidak ditemukan lagi sumur-sumur minyak baru, jumlah kilang-kilang BBM yang semakin menua dan produksinya tidak mencukupi kebutuhan BBM yang terus meningkat, stok bahan BBM yang terbatas


Tidak ada komentar:

Posting Komentar